Archive for January, 2015

Kasus

Metrotvnews.com, Jakarta: Jumlah penduduk miskin di Indonesia per September 2013 mencapai 28,55 juta jiwa atau 11,47% dari populasi. Jumlah tersebut bertambah sejak Maret 2013 yang berjumlah 28,07 juta jiwa.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin mengatakan salah satu penyebab meningkatnya jumlah penduduk miskin selama Maret-September 2013 ialah karena baiknya harga sembako, termasuk kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada Juni 2013.

“Penaikan harga beras, beberapa bahan pokok eceran seperti daging ayam ras, telur ayam ras, dan cabai merah, serta meningkatnya tingkat pengangguran terbuka juga jadi faktor penyebab meningkatnya jumlah penduduk miskin,” kata Suryamin di Jakarta, Kamis (2/1).

Kebanyakan jumlah penduduk miskin per September 2013 masih terkonsentrasi di Maluku dan Papua yang mencapai 24,24%. Sementara Jawa menyumbang 10,98%, Sumatra 11,53%, Bali dan Nusa Tenggara 14,49%, Sulawesi 17,75%, dan Kalimantan 6,66%.

Dilihat dari daerahnya, penduduk miskin masih banyak di perdesaan. Per September 2013 terdapat 17,92 juta jiwa penduduk miskin di perdesaan. Sementara di perkotaan 10,63 juta jiwa.

Sumber: http://microsite.metrotvnews.com/metronews/read/2014/01/02/3/204929/Penduduk-Miskin-Indonesia-Bertambah

 

Analisa kasus

Menurut saya, kemiskinan di daerah pedesaan yang terjadi dikarenakan ketidakmerataan pendidikan, pembangunan pada daerah pedesaan. Adapun pada daerah perkotaan yang terdapat warga miskin yakni merupakan masyarakat yang melakukan urbanisasi dari desa ke kota. Mereka ingin mengadu nasib mencari pekerjaan di kota. Dengan persepsi dari masyarakat desa bahwa mencari pekerjaan di perkotaan itu menarik, hal ini membuat terus bertambahnya populasi kemiskinan di daerah kota.

Pada berita tersebut, disebutkan bahwa populasi kemiskinan lebih banyak terjadi di daerah pedesaan ketimbang di perkotaan. Menurut saya hal ini karena faktor pemerataan dari segi pendidikan atau pembangunan daerah yang belum merata. Mayoritas masyarakat di pedesaaan ini lebih memilih tidak melanjutkan pendidikan lebih tinggi lagi karena faktor ekonomi. Di daerah pedesaan masih sedikit lembaga pendidikan yang tersebar jika dibandingkan dengan di kota. Adapun jika ingin melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi tentunya harus memiliki tabungan yang lebih untuk biayanya. Itulah hambatan masyarakat desa yang lebih memilih untuk berkerja sebagai buruh atau bertani seusai mereka bersekolah guna hanya untuk bisa membaca menulis dan mengitung.

Dengan minimnya tingkat pendidikan pada masyarakat di desa, tentu berdampak pada pengetahuan teknologi informasi yang sedang berkembang pesat saat ini. Sedikitnya ilmu, pengetahuan tentang teknologi yang mereka dapatkan tidak lain mereka akan tersebut sebagai masyarakat daerah tertinggal. Faktor tersebut bisa didasari karena pembangunan yang belum merata. Oleh sebab di pedesaan masih sulit mendapatkan suatu informasi mengenai perkembangan teknologi, maka timbul rasa ingin pergi ke kota untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Dengan pendidikan yang masih minim, mereka bertekad melakukan urbanisasi. Sedangkan di perkotaan persaingan di dunia lapangan perkerjaan pun sangat sulit. Hal ini menambah populasi kemiskinan pada daerah perkotaan.

Solusi Kasus

Menurut saya, untuk meminimalisir angka kemiskinan pada daerah pedesaan itu bisa dengan meningkatkan kualitas pendidikan pada daerah pedesaan. Dimana pada setiap sekolah diterapkan ilmu pengetahuan mengenai perkembangan teknologi yang terus berkembang ini lebih ditekankan. Sehingga pola pikir dari anak-anak generasi muda akan ikut berkembang dan tentunya tidak akan tertinggal. Dengan catatan tetap mengawasi anak-anak agar tidak menyalahgunakan perkembangan teknologi yang sedang berkembang pesat ini. Jika pada saatnya mereka tumbuh menjadi dewasa dengan pengetahuannya yang sudah mantap maka mereka akan membangun desa nya agar lebih baik lagi tak kalah dengan daerah kota. Namun, tidak menghilangkan keasrian atau kkhasan daerah desa, tidak menjadikan desa menjadi daerah seperti kota.

Adapun cara lain yaitu dengan menciptakan lapangan pekerjaan secara khusus untuk daerah desa tentu tidak merusak ekosistem pedesaan atau pelatihan-pelatihan khusus untuk masyarakat miskin sehingga mereka bisa bekerja sesuai dengan keahlian dari masing-masing individu.

Dan untuk masyarakat kota seharusnya tidak memanfaatkan daerah desa sebagai sasaran sektor perindustrian dimana hal tersebut akan semakin menambah dan meningkatkan angka populasi kemiskinan di daerah desa. Kalau pun memang akan membangun sektor perindustrian dengan alasan untuk membantu dalam menambah lapangan pekerjaan, tentu keasrian dan kebersihan daerah desa harus tetap terjaga dan harus memikirkan dimana pekerjanya itu berasal dari masyarakat desa itu sendiri jika memang tujuannya itu untuk membantu mengurangi angka populasi kemiskinan.

KASUS DISKRIMINASI DI INDONESIA

Posted: January 15, 2015 in Semester 7

KASUS 

JAKARTA, KOMPAS.com — Identitas keberagaman di Indonesia terus diuji dengan beragam tindakan diskriminasi. Selama 14 tahun setelah reformasi, setidaknya ada 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Indonesia. Yayasan Denny JA mencatat, dari jumlah itu paling banyak kekerasan terjadi karena berlatar agama/paham agama sebanyak 65 persen. Sisanya, secara berturut-turut adalah kekerasan etnis (20 persen), kekerasan jender (15 persen), dan kekerasan orientasi seksual (5 persen).

“Semenjak reformasi, diskriminasi yang terjadi lebih bersifat priomordial, komunal, bukan seperti diskriminasi ideologi yang terjadi pada masa Orde Baru,” ujar Direktur Yayasan Denny JA, Novriantoni Kahar, Minggu (23/12/2012), dalam jumpa pers di Kantor Lingkaran Survei Indonesia (LSI), di Jakarta.

Dari banyaknya kasus diskriminasi yang terjadi, Yayasan Denny JA mendata setidaknya ada lima kasus diskriminasi terburuk pasca 14 tahun reformasi. Kelima kasus itu dinilai terburuk berdasarkan jumlah korban, lama konflik, luas konflik, kerugian materi, dan frekuensi berita. Setiap variabel diberikan nilai 1-5 kemudian dikalikan dengan bobot masing-masing variabel. Pembobotan skor 50 diberikan pada variabel jumlah korban, skor 40 untuk lamanya konflik, skor 30 untuk luas konflik, skor 20 untuk kerugian materi, dan skor 10 untuk frekuensi berita. Hasilnya, konflik Ambon berada di posisi teratas, yakni dengan nilai 750, kemudian diikuti konflik Sampit (520), kerusuhan Mei 1998 (490), pengungsian Ahmadiyah di Mataram (470), dan konflik Lampung Selatan (330).

“Lima konflik terburuk ini setidaknya telah menghilangkan nyawa 10.000 warga negara Indonesia,” ucap Novriantoni.

Konflik Maluku menjadi konflik kekerasan dengan latar agama yang telah menelan korban terbanyak, yakni 8.000-9.000 orang meninggal dunia, dan telah menyebabkan kerugian materi 29.000 rumah terbakar, 45 masjid, 47 gereja, 719 toko, 38 gedung pemerintahan, dan 4 bank hancur. Rentang konflik yang terjadi juga yang paling lama, yakni sampai 4 tahun.

Sementara konflik Sampit yang berlatar belakang etnis, yakni antara Dayak dan Madura, telah menyebabkan 469 orang meninggal dunia dan 108.000 orang mengungsi. Rentang konfliknya pun mencapai 10 hari. Konflik kerusuhan di Jakarta yang terjadi pada 13-15 Mei 1998 juga tidak kalah hebatnya. Konflik ini menelan korban 1.217 orang meninggal dunia, 85 orang diperkosa, dan 70.000 pengungsi. Meski hanya berlangsung tiga hari, kerugian materi yang ditimbulkan mencapai sekitar Rp 2,5 triliun.

Konflik Ahmadiyah di Transito Mataram telah menyebabkan 9 orang meninggal dunia, 8 orang luka-luka, 9 orang gangguan jiwa, 379 terusir, 9 orang dipaksa cerai, 3 orang keguguran, 61 orang putus sekolah, 45 orang dipersulit KTP, dan 322 orang dipaksa keluar Ahmadiyah. Meski tidak menimbulkan korban jiwa yang besar, konflik ini mendapat sorotan media cukup kuat dan rentang peristiwa pascakonflik selama 8 tahun yang tak jelas bagi nasib para pengungsi.

Konflik kekerasan yang terjadi di Lampung Selatan telah menimbulkan korban 14 orang meninggal dunia dan 1.700 pengungsi. “Secara keseluruhan, negara terlihat mengabaikan konflik-konflik yang sudah terjadi pelanggaran HAM berat. Dalam beberapa kasus bahkan tidak ada pelaku atau otak pelaku kekerasan yang diusut,” katanya.

Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2012/12/23/15154962/Lima.Kasus.Diskriminasi.Terburuk.Pascareformasi

ANALISIS KASUS

Menurut saya kasus diskriminasi tersebut bisa terjadi karena hukum mengenai HAM di Indonesia tersendiri bukan merupakan suatu hal yang penting. Sehingga setiap suku, atau etnis bahkan agama pun kurang mendapat perhatian tertentu jika dikaitkan dengan hukum yang sudah diberlakukan UUD. Dampaknya setiap individu yang memang pada dasarnya memiliki ego tersendiri menganggap diri mereka adalah orang-orang yang paling benar. Apalagi jika bagian dari mereka itu menjadi kaum mayoritas, sehingga kaum minoritas pada suatu daerah akan dikucilkan oleh kaum mayoritas. Pemikiran dia lah yang paling benar, paling hebat akan mendoktrin pikiran dari masyarakat untuk menguasai daerah tempat dimana ia tinggal. Masing-masing ingin merasa menjadi yang terpenting dan ingin menguasai dengan perbandingan pikiran mereka tidak sejalan dengan masyarakat yang lainnya. Itulah sebabnya  mengapa di Indonesia ini masih sering kita temui adan kita dengar tentang kasus mengenai konflik yang merujuk pada diskriminasi hak asasi manusia. Ditambah lagi, masalah-masalah yang sangat merugikan negara ini kurang menjadi sorotan penting dimata hukum. Hanya tertulis pada UUD saja tidak terbentuk pada kehidupan nyatanya.

Tidak hanya hal tersebut, diskriminasi pada berita tersebut bisa juga terjadi dikarenakan melekatnya tradisi budaya yang diyakinkan oleh masyarakat sebelumnya (primodial). Di Indonesia ini banyak sekali budaya yang menyebar pada setiap pulaunya. Dari setiap budaya masing-masing memiliki ciri khas, kebiasaan dan adatnya tersendiri. Mengenai adat kebiasaan pasti akan berbeda dari budaya satu dengan budaya yang lainnya. Bahkan jika dalam suatu agama bisa diambil agama islam ini masing-masing setiap masyarakat yang menganutnya memiliki budaya atau kebiasaan yang mereka bawa dari nenek moyangnya terdahulu. Kemudian mereka migrasi ke suatu wilayah dimana tradisi agama islam mereka berbeda, maka hal inipun akan melatar belakangi terjadinya konflik antar agama. Tentu pasti berujung soal diskriminasi antara penduduk asli dengan penduduk pendatang.

SOLUSI PENDAPAT PRIBADI

Menurut saya, konflik-konflik yang terjadi akan menjadikan Indonesia ini menjadi terpecah belah. Jika itu terjadi tentu akan menjadi bagian yang sangat penting karena akan hilang salah satu bagian dari pancasila yaitu ‘Persatuan Indonesia’. Kasus diskriminasi menjadi hal yang penting, jika Indonesia ini saling bersatu pastinya dalam perkembangan untuk negara pun akan menjadi lebih baik. Untuk menjadikan diskriminasi ini berkurang memang harus didasari dari diri sendiri, pola pemikiran masing-masing masyarakatnya. Tidak lepas dari tergantung diri sendiri tentu pemerintah harus membantu mendorong dengan tidak acuh soal hal ini. Lebih menindak lanjuti kasus-kasus diskriminasi yang terjadi. Tidak bersikap kaku dalam arti banyak sekali birokrasi dan syarat dalam penanganannya. Seharusnya yang dilihat itu bukanlah masalah apa yang melatarbelakangi konflik tersebut melainkan apa yang harus dilakukan untuk menyatukan suatu pola pemikiran dari banyak masyarakat yang berbeda-beda mengingat persatuan itu sangatlah penting. Semua ini bukan untuk mereka yang berkonflik, namun untuk Indonesia.